Monday, July 16, 2012

Sastra Indonesia Kontemporer


Pengertian Sastra Kontemporer

Sastra Kontemporer adalah sastra masa kini, sastra sezaman, sastra dewasa ini. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sastra kontemporer adalah 1 sastra yang hidup pada masa kini atau sastra yang hidup dalam waktu yang sama, 2 sastra yang berusaha nergerak mendahului zamannya.
Pengertian Sastra Indonesia Kontemporer
Sastra Indonesia Kontemporer diartikan sebagai sastra yang hidup di Indonesia pada masa kini atau sastra yang hidup di Indonesia pada masa mutakhir atau sastra yang hidup di Indonesia pada zaman yang sama.


Sejarah dan Perkembangan Sastra Indonesia Kontemporer

Pembatasan sastra kontemporer hanya terjadi di Indonesia yang muncul sekitar berakhirnya Perang Dunia Kedua. Angkatan ‘45 dianggap sebagai embrio sastra kontemporer. Alasannya adalah lahirnya proklamasi dan penggunaan bahasa Indonesia serta Nasionalisme (Budi Darma, 1996:9). Tokoh-tokoh sastra kontemporer adalah Chairil Anwar, Toto Sudarto Bachtiar, Sitor Situmorang, Taufik Ismail, Gunawan Mohammad, Soebagio Sastrowardjojo dan Sutardji Calzoum Bachri.


Sastra Generasi Kisah

Generasi Kisah

Generasi ini mungkin berasal dari nama majalah "Kisah". Berbeda dengan penamaan terhadap angkatan-angkatan sebelumnya, penamaan terhadap angkatan/ periode sastra setelah masa revolusi ini tidak ada yang pasti. Ajip Rosidi menamainya dengan “Angkatan Sastra Terbaru”, Jakob Sumardjo menamainya menurut penerbitannya (yakni Kisah lalu Sastra). Secara umum diberi nama “Angkatan Sastra 50-an”, bahkan HB Jassin menamai pengarang-pengarang periode 1953-1966 ini dengan nama Angkatan 66 (meski banyak yang menentangnya).
Majalah Kisah merupakan majalah sastra pertama di Indonesia (sebelumnya berupa majalah umum atau budaya). Majalah ini terbit dari tahun 1953—1957 yang kemudian kematiannya dilanjutkan dengan kelahiran majalah Sastra yang senafas dengan majalah Kisah. Majalah Sastra terbit dalam dua periode yakni 1961—1964 dan 1967—1968.

Sudjati SA  dkk menerbitkan majalah khusus yang memuat karya-karya sastra, yakni cerita pendek pada Juli 1953. Majalah ini terbit setiap bulan hingga sampai edisi Maret 1957. Selain Sudjati SA, yang duduk sebagai dewan redaksi antara lain: HB Jassin, M. Balfas, Idrus lalu juga DS Moeljanto. Banyaknya karya-karya sastra yang serba pendek seperti cerpen merupakan salah satu karakteristik karya sastra yang dimuat di majalah meskipun ada sejumlah novel(et) dan drama yang dimuat di majalah.

Ciri karya sastra Generasi Kisah :

a. kesusastraan cerita pendek
b. bersifat semi-otobiografis (seperti pada karya-karya Trisnoyuwono, Nugroho Notosusanto, Djamil Suherman, Yusach Ananda, S.M. Ardan, Ajip Rosidi, Sukanto S.A., Motinggo Busye, Bur Rasuanto, Bastari Asnin → hlm 150—151) berorientasi pada kesusastraan Indonesia sendiri
c.  kesusastraan yang deskriptif

Konsep Kesusastraan Pada Periode Generasi Kisah

a. Saya bersajak karena perasaan-perasaan yang mendorong orang bertindak secara alam. Begitu saja dengan sendirinya. Jadi tanpa pertimbangan seorang intelektual (Rendra).
“Angkatan terbaru sastrawan Indonesia” menjumpai nilai-nilai baru dalam kebudayaan daerah yang oleh para sastrawan Pujangga Baru dan Angkatan 45 tidak dipandang sebelah mata. Kebudayaan nasional Indone­sia akan berkembang berdasarkan kenyataan-kenyata­an yang kita jumpai dalam masy Indonesia masa kini. Dan kenyataan-kenyataan itu adalah adanya kebudaya­an daerah yang sudah tumbuh subur berakar ... (Ajip Rosidi).
Sajak-sajak adalah suara dari bawah sadar ... apa yang muncul dari bawah sadar mungkin sesuatu yang me­merlu­kan diri, seolah-olah menyebabkan kita telanjang bulat di muka umum; mungkin pula bayangan angan-angan yang pelik yang hanya sekali saja menampakkan diri di depan mata hati kita (Subagio S).

Krisis Sastra

Begitu menginjak tahun-tahun permulaan kemerdekaan, terasalah adanya banyak kegagalan di segala bidang. Kegagalan politik, kegagalan ekonomi, penyelewengan, korupsi dan perubahan-perubahan lain makin terasa dalam kehidupan Indonesia yang mengantarkannya kepada krisis budaya.
Persoalan “krisis sastra” baru mendapat perhatian kaum sastrawan ketika terbit tulisan Sudjatmoko dalam majalah Konfrontasi pada pertengahan 1954. Karena pada periode ini tidak ada roman besar, malah yang ada hanya cerpen yang dangkal.

Ada dan tidaknya krisis sastra adalah akibat cara meman­dang situasi yang berbeda. Golongan yang menuduh ada krisis sastra kebanyakan golongan “tua”. Hal ini sebenar­nya hanya mempertegas bahwa suatu angkatan baru muncul dalam sejarah, biasanya muncul “caci maki” dari golongan tua.
Pada periode ini juga muncul persoalan “krisis akhlak atau krisis moral” karena maraknya bacaan porografis. Lalu diadakan sebuah diskusi oleh OPI (Organisasi Pengarang Indonesia) pada Oktober 1956 yang diketuai J.C.T. Simorangkir, Sutan Takdir Alisjahbana sebagai pembicara utama, Hamka dan Gayus Siagian sebagai penyanggah.

Diskusi seperti itu diadakan karena dalam kesusastraan mulai muncul novel-novel dan cerpen dalam majalah-majalah hiburan yang secara murahan menggambarkan adegan cabul/pornografis → roman picisan (yang sebenar­nya telah berkembang sejak 1930-an.

Majalah Kisah akhirnya berhenti terbit pada Maret 1957 (terbit mulai Juli 1953). Kemudian muncul majalah Tjerita yang dipimpin oleh Nugroho Notosusanto, tetapi tidak berusia lama.
Pada Mei 1961 terbitlah majalah sastra yang bernama Sastra (dengan direksi dari mantan majalah Kisah: Sudjati S.A., H.B. Jassin, dan M. Balfas). Majalah Sastra ini tidak hanya berisi cerpen tetapi juga puisi, esai, kritik, dan cerpen terjemahan, serta cerita bersambung.
Pada 1964 majalah ini terhenti, kemudian diterbitkan kembali pada 1967 (meski pada penerbitan ke-2 tidak lagi berperan karena munculnya majalah Horison dengan Angkatan Horison atau Angkatan 66).
Pada awal 1960-an sejumlah penerbit mulai aktif menerbitkan buku sastra seperti: N.V. Nusantara, P.T. Pembangunan, Tintamas, N.V. Penerbit Djambatan, P.T. Gunung Agung, Firman Buku Mega Bookstore, Aryaguna, Balai Pustaka, Badan Penerbit Kristen.


Periode Kedua Majalah Sastra

Pada periode ini posisi H.B. Jassin sebagai kritikus sastra Indonesia memiliki peran yang sangat penting. Peran penting Jassin dalam sastra Indonesia:
1)  Kebanyakan sastrawan Kisah dan Sastra menulis berdasarkan “bakat alam” sehingga memerlukan seorang pembimbing seperti Jassin yang mengetahui nilai-nilai sastra;
2) Kritik Jassin yang bersifat apresiatif (sebagai penjelas dan perantara antara sastrawan dan pembaca) mudah diterima oleh pembaca ataupun sastrawan;
3)  Jassin satu-satunya kritikus yang paling tekun dan rajin menulis dalam mengikuti perkembangan sastra Indonesia;
4)  Banyak buku-bukunya dipakai sebagai buku pelajaran sastra di sekolah hingga perguruan tinggi.

Beberapa ciri kritik sastra Jassin:

1)      kritik mendidik
2)      menggali kekayaan isi
3)      menilai sastrawan berdasarkan seluruh karyanya
4)      pengetahuan sastra Indonesianya lengkap
5)      lebih mementingkan perasaan dan kepekaan daripada berdasarkan teori-teori ilmiah sastra

Para Sastrawan Angkatan Kisah: (1)

1)      Nugroho Notosusanto
2)      Ajip Rosidi
3)      Subagio Sastrowardojo
4)      W.S. Rendra
5)      Trisnoyuwono
6)      Riyono Pratikto
7)      A.A. Navis
8)      N.H. Dini
9)      Toto Sudarto Bachtiar
10)   Kirdjomuljo
11)   Ramadhan K.H.

Para Sastrawan Angkatan Kisah: (2)

a.       S.M. Ardan
b.      Sukanto S.A.
c.       Djamil Suherman
d.      Yusakh Ananda
e.      Ali Audah
f.        Bokor Hutasuhut
g.       Nasjah Djamin
h.      A. Alexandre Leo
i.        Alwan Tafsiri
j.        Soewardi Idris
k.       Muhamad Ali
l.        S.N. Ratmana
m.    Sirullah Kaelani

Para Sastrawan Angkatan Sastra: (1)

1)      B. Sularto
2)      Iwan Simatupang
3)      Bur Rasuanto
4)      Bastari Asnin
5)      Satyagraha Hoerip
6)      Gerson Poyk
7)      Motinggo Busye
8)      Purnawan Tjondronegoro
9)      Jajak MD
10)   Titie Said
11)   Titis Basino

Para Sastrawan Angkatan Sastra: (2)

1)      Ras Siregar
2)      Fridolin Ukur
3)      Mansur Samin
4)      Usamah
5)      Indonesia O’galelano
6)      Hartoyo Andangdjaja
7)      Poppy Donggo Hutagalung
8)      M. Saribi AFN
9)      Isma Sawitri
10)   Piek Adijanto Suprijadi






Friday, July 13, 2012

Sastra Angkatan 45

Sastra Angkatan 45

Perjalanan Sastra Angkatan 45 

Dimulai pada tahun 1942. Tahun 1942 (9 Maret = pengambilalihan kekuasaan Jepang di Indonesia) merupakan tahun yang sangat penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia, termasuk kesusastraannya. Sejak tahun itu terjadilah perubahan besar-besaran, revolusi kebudayaan dimulai tahun itu.

Segala hal yang mengingat­kan budaya Barat harus dilenyapkan. Bahasa Belanda tidak boleh dipergunakan lagi. Sebagai gantinya dipakai bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di kantor-kantor dan surat-surat keputusan.
Pada tahun itu Pujangga Baru berhenti karena Jepang tidak menginginkan sifatnya yang kebarat-baratan. Sastra Balai Pustaka juga terhenti karena pemerintah Belanda (sebagai pendukung kesusastraan ini) telah tumbang.
Kemudian muncullah angkatan sastra baru, Angkatan 45 (sastra angkatan 45), yang didahului dengan masa pertunasan (sastra zaman Jepang). Angkatan 45 melahirkan karya-karya sastra yang bersifat romantis realistik (berbeda dengan Pujangga Baru yang bersifat romatis idealistik = HB Jassin).

Dalam waktu yang singkat, Indonesia menghasilkan banyak karya sastra besar pada angkatan ini. Sajak-sajak Chairil Anwar, roman-roman Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis dan Achdiat Kartamihardja merupakan tonggak-tonggak penting dalam perjalanan sastra Indonesia.
Pengalaman kehidupan nyata merekalah yang membuat karya-karya angkatan ini menjadi besar. Angkatan 45 rata-rata terganggu pendidikan formalnya. Kaum sastrawan Angkatan 45 masih termasuk golongan masyarakat menengah, terdidik, dan kaum muda pada zamannya. Sastra Indonesia menemukan identitas dirinya sejak angkatan ini.

Sastra Zaman Jepang

Pada bulan April 1943 terbentuklah Keimin Bunka Shidoso atau Kantor Pusat Kebudayaan. Dalam badan ini duduk berbagai seniman dari segala lapangan.
Dalam zaman Jepang terbitlah majalah-majalah baru yang dikelola oleh Pusat Kebudayaan: Jawa Baru (1943—1945) dan Kebudayaan Timur (1943—1945), di samping Panji Pustaka yang merupakan peninggalan Balai Pustaka, hanya dipergunakan demi kepentingan Jepang.
Para sastrawan dalam Pusat Kebudayaan diminta mencipta­kan karya-karya sastra yang mengandung cita-cita cinta tanah air, mengobarkan semangat kepahlawanan dan semangat bekerja. Karya sastra harus membimbing masyarakat. Indonesia harus memihak kebudayaan Timur, menjauhi kebudayaan Barat. Banyak sajak dan cerpen dihasilkan pada masa ini.
Dua roman yang dihasilkan pada masa ini (Cinta Tanah Air oleh Nur Sutan Iskandar dan Palawija oleh Karim Halim) lebih cenderung sebagai propaganda Jepang. Banyak sastrawan seperti Armijn Pane, Nur Sutan Iskandar, Karim Halim, Usmar Ismail yang bersemangat membantu Jepang. Merekalah sastrawan-sastrawan “resmi” zaman Jepang.
Aada sejumlah sastrawan yang menentang Jepang seperti Chairil Anwar, Idrus, dan Amal Hamzah. Ada juga yang lebih kompromistis seperti karya-karya Maria Amin. Ada juga yang bimbang seperti Bakri Siregar.

Sastrawan yang banyak menulis pada zaman Jepang:

—  Usmar Ismail
—  Amal Hamzah
—  Rosihan Anwar
—  Bakri Siregar
—  Anas Ma’ruf
—  M.S. Ashar
—  Maria Amin
—  Nursyamsu
—  HB Jassin
—  Abu Hanifah (El Hakim)
—  Kotot Sukardi
—  Idrus

Kelahiran Angkatan Baru

Sejak kekalahan Jepang kepada Sekutu (14 Agustus 1945) dan kemerdekaan Indonesia, kehidupan kegiatan kebudayaan (termasuk sastra) mempunyai tonggak yang penting. Suasana jiwa dan penciptaan yang sebelumnya terkekang, kini mendapatkan kebebasan yang nyata.
Para sastrawan Indonesia merasakan sekali kemerdekaan dan tanggung jawab untuk mengisinya. Individualitas yang diidamkan oleh Pujangga Baru (Sutan Takdir Alisjahbana) dilaksanakan penuh konsekuen oleh Angkatan 45.

Sastra Angkatan 45

Nama “Angkatan 45” baru diberikan pada tahun 1949 oleh Rosihan Anwar, meski tidak disetujui banyak sastrawan. Keberatan itu karena nama itu kurang pantas ditujukan pula kepada para pengarang, yang notabene berbeda dengan para pejuang kemerdekaan (yang diberi predikat sebelumnya sebagai Angkatan 45).
Ada 4 tokoh utama yang sering dianggap sebagai pelopor Angkatan 45: Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus. Chairil seorang individualis dan anarkhis. Asrul aristokrat dan moralis. Idrus penuh dengan sinisme. Rivai lebih dikenal sebagai nihilis.

Surat Kepercayaan Gelanggang adalah pernyataan sikap dari beberapa sastrawan Indonesia yang kemudian hari dikenal sebagai Angkatan '45. Di antara para sastrawan ini yang paling menonjol adalah Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin. Surat ini diterbitkan oleh majalah Siasat pada tanggal 22 Oktober 1950.

Surat Kepercayaan Gelanggang berbunyi sebagai berikut:

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.


Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.

Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai.

Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai.

Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui adalah manusia. Dalam cara kami mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.

Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman.


Angkatan 45 tidak hanya terdiri dari kaum sastrawan, tetapi juga seniman lain, termasuk para pelukis seperti: S. Sudjojo­no, Affandi, Henk Ngantung, Mochtar Apin, Baharuddin; juga para musikus seperti: Binsar Sitompul dan Amir Pasaribu.

Karya-karya sastra kala itu masih diterbitkan bersama dengan sketsa para pelukis, partitur musik, esai musik-lukis-drama-tari. Hal ini menunjukkan bahwa para sastrawan memiliki wawasan luas dalam bidang seni dan budaya pada umumnya.
Perkembangan Angkatan 45 Melalui majalah-majalah :
a.       Panca Raya (1945—1947)
b.      Pembangunan (1946—1947)
c.       Pembaharuan (1946—1947)
d.      Nusantara (1946—1947)
e.       Gema Suasana (1948—1950)
f.       Siasat (1947—1959) dgn lampiran kebudayaan: Gelanggang
g.      Mimbar Indonesia (1947—1959) dgn lampiran: Zenith
h.      Indonesia (1949—1960)
i.        Pujangga Baru (diterbitkan lagi 1948; berganti Konfrontasi: 1954)
j.        Arena (di Yogya, 1946—1948)
k.      Seniman (di Solo 1947—1948)

Aliran Sastra Angkatan 45:

Ekspresionisme merupakan aliran seni yang berkembang setelah kemerdekaan diproklamasikan. Ekspresionisme yang mendasari Sastra Angkatan 45 sebenarnya sudah berkembang lama di Eropa (penghujung abad ke-19) seperti Baudelaire, Rimbaud, Mallarme (Prancis), F.G. Lorca (Spanyol), G. Ungaretti (Italia), T.S Eliot (Inggris), G.Benn (Jerman), dan H. Marsman (Belanda).
Aliran ekspresionisme timbul sebagai reaksi terhadap aliran impresionisme. Dalam sastra Indonesia, Pujangga Baru bersifat impresionistik dan Angkatan 45 mereaksinya dengan aliran ekspresionistik.
Penyair ekspresionis tidak ditentukan oleh alam, justru penyairlah yang menentukan gambaran alam. Kritikus pertama yang dapat memahami sajak-sajak Chairil Anwar ialah HB Jassin. Kritikus ini pulalah yang membela dan menjelaskan karya-karya Chairil yang bersifat ekspresionis itu.
Berbeda dengan Pujangga Baru yang beraliran romantik impresionistik sehingga melahirkan sajak-sajak yang harmonis, Angkatan 45 melahirkan sajak-sajak yang penuh kegelisahan, pemberontakan, agresif dan penuh kejutan. Vitalisme dan individualisme melahirkan sajak-sajak penuh pertentangan semacam itu.

Karya-karya Penting Angkatan 45:

1.      Deru Campur Debu, Kerikil Tajam (Chairil Anwar)
2.      Atheis (Achdiat Kartamihardja)
3.      Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis)
4.      Keluarga Gerilya (Pramoedya Ananta Toer)

Para Sastrawan Angkatan 45

a.       Chairil Anwar
b.      Asrul Sani
c.       Rivai Apin
d.      Idrus
e.       Pramoedya Ananta Toer
f.       Mochtar Lubis
g.      Achdiat Kartamihardja
h.      Trisno Sumardjo
i.        Mh. Rustandi Kartakusuma
j.        M. Balfas
k.      Sitor Situmorang
l.        Utuy Tatang Sontani
m.    S. Rukiah
n.      Barus Siregar
o.      Rustam Sutiasumarga
p.      Muhamad Dimyati
q.      Saleh Sastrawinata, S
r.        Mundingsari, Gayus Siagian
s.       Dodong Djiwapradja
t.        Mahatmanto, Sirullah Kaelani
u.      Piet Sengojo
v.      Darius Marpaung
w.    Ida Nasution
x.      Siti Nuraini


Nama-nama lain untuk angkatan sastra periode ini adalah:

Angkatan Kemerdekaan
Angkatan Chairil Anwar
Angkatan Perang
Angkatan Sesudah Perang
Angkatan Sesudah Pujangga Baru
Angkatan Pembebasan
Generasi Gelanggang


Sastra Pujangga Baru

Pujangga Baru

Sastrawan (PB) Pujangga Baru  merupakan generasi II dalam sastra berbahasa Melayu Tinggi.
Para sastrawan ini lahir sekitar 1908. Pemuda-pemuda inilah yang mengumandangkan Sumpah Pemuda 1928. Mereka juga aktif dalam bidang politik guna membentuk negara, bangsa, dan bahasa Ind.

Masa awal Pujangga Baru (nama ini berasal dari majalah yang didirikan oleh STA (Sutan Takdir Alisjahbana), Amir Hamzah, dan Armijn Pane pada Mei 1933) tidak tiba-tiba muncul pada tahun 1933 tetapi didahului oleh usaha serupa oleh sejumlah tokoh. Karya sastra corak PB muncul sejak 1921 (lihat hlm 69).

Tujuan majalah Pujangga Baru:

1)    menumbuhkankesusastraan  baru yg sesuai dengan  zamannya
2)   mempersatukan sastrawan baru dalam satu wadah yg sebelumnya  tercerai-berai. Usaha ini terutama dilakukan oleh Armijn Pane ketika dia menjadi sekretaris redaksi dari 1933 hingga 1938.
Maksud semula majalah ini adalah untuk memajukan kesusastraan baru, meski kemudian semakin meluas meliputi masalah-masalah kebudayaan. Majalah ini disambut baik oleh golongan elit nasional, tetapi tidak disambut baik oleh bangsawan, bahkan mendapat kritik dari guru-guru bahasa Melayu.

Pada tahun 1942 PB dilarang Jepang → karena sifatnya yang kebarat-baratan. Pada tahun 1949-1953, majalah ini dihidupkan kembali oleh STA tetapi peranannya sudah tidak berarti lagi

Sastra Balai Pustaka

Balai Pustaka 

(BP) bukanlah hasil ekspresi bangsa (Ind.) secara murni; sastra BP adalah sastra bertendens, punya maksud-maksud praktis ttt → mendidik bgs Ind agar menjadi Peg. Negeri yang patuh dan tidak ambisius untuk menyamai orang-orang Belanda. Keputusan Kerajaan Belanda 30 Sept 1848 kepada Gub. Jend Bld di Ind. diberi wewenang menggunakan dana £.25.000 per tahun untuk pendidikan guna memenuhi kebutuhan pegawai rendah dan juga untuk mengendalikan pendidikan yang telah dilakukan pihak swasta.

Periodisasi Sastra Indonesia

Periodisasi Sastra Indonesia 

Sejarah Sastra Indonesia merupakan perkembangan dari Sastra Melayu, yakni sekitar akhir abad ke-19. Di Nusantara, selain ada sastra Melayu juga ada sastra: Jawa, Sunda, Bali, Bugis, Aceh, Batak, Madura, Bima, dll.

SASTRA INDONESIA

tumbuh dari kebudayaan yang tengah beralkulturasi dengan kebudayaan Barat (Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda) sejak abad ke-17, tapi lebih bersifat perdagangan. Sejak abad ke-19, Belanda (Barat) mulai menanamkan kontak budayanya melalui proses pendidikan.
  

BABAKAN WAKTU DALAM SEJARAH SASTRA INDONESIA MODERN 

Sastra awal (1900-an)
Sastra Balai Pustaka (1920—1942) 
Sastra Pujangga Baru (1933—1942)
Sastra Angkatan 45 (1942—1955)
Sastra Generasi Kisah (1955—1965)
Sastra Generasi Horison (1966--?)
Sastra 1970/1980
Sastra 1990/2000

Tuesday, July 10, 2012

Pengertian Sastra

Pengertian Sastra

Apakah sastra itu?

KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia )
1 bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yg dipakai dl kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari);
2 kesusastraan;
3 kitab suci Hindu; kitab ilmu pengetahuan;
4  pustaka; primbon (berisi ramalan, hitungan, dsb);
5  tulisan; huruf;

Wellek dan Waren dalam Wiyatmi (2009) mencoba mengemukakan beberapa definisi sastra:
Pertama, sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Maka dari itu segala sesuatu yang tertulis entah ilmu apapun adalah sastra. Kedua, sastra dibatasi hanya pada "mahakarya", yaitu buku-buku yang dianggap menonjol karena bentuk dan ekspresi sastrannya. Ketiga, sastra diterapkan pada seni sastra, yaitu dipandang sebagai karya imajinatif. Pada definisi ketiga ini kita diarahkan untuk memahami sastra dengan terlebih dahulu melihat aspek bahasa. Bahasa khas seperti apakah yang dimiliki sastra? Apakah keindahan, keunikan, ataupun memiliki banyak arti?

Luxemburg dkk dalam Wiyatmi mengatakan bahwa kaum romantik juga memiliki pandangan lain mengenai ciri-ciri sastra sebagai berikut: Pertama, sastra adalah sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan sebuah imitasi. Seorang sastrawan menciptakan dunia baru. Kedua, sastra merupakan luapan emosi yang spontan.  Ketiga, sastra bersifat otonom, tidak mengacu kepada sesuatu yang lain; sastra tidak bersifat komunikatif. Sastra mencari keselarasan di dalam sebuah karya. Keempat, otonomi sastra memiliki ciri kohesi yang dalam artian mengacu kepada bentuk dan isi. Kelima, sastra menampilkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan. Keenam, sastra mengungkapka yang tak terungkapkan, dalam artian sastra mampu menghadirkan bermacam -macam asosiasi mapupun konotasi yang jarang ditemukan dalam bahasa sehari-hari.


Untuk lebih mendalami mengenaik hakikat sastra, cobalah baca definisi sastra menurut para ahli di bawah ini!

Definisi dan Pengertian Sastra Menurut Beberapa Ahli

1 . Sastra berasal dari kata castra berarti tulisan. Dari makna asalnya dulu, sastra meliputi segala bentuk dan macam tulisan yang ditulis oleh manusia, seperti catatan ilmu pengetahuan, kitab-kitab suci, surat-surat, undang-undang, dan sebagainya. Sastra dalam arti khusus yang kita gunakan dalam konteks kebudayaan, adalah ekspresi gagasan dan perasaan manusia. Jadi, pengertian sastra sebagai hasil budaya dapat diartikan sebagai bentuk upaya manusia untuk mengungkapkan gagasannya melalui bahasa yang lahir dari perasaan dan pemikirannya.
2. Sumarno dan Saini, sastra adalah ungkapan pribadi manusiaberupa pengalaman, pemikiran, perasaan, gagasan, semangat,keyakinan,  dalam suatu bentuk gambaran kongkret yangmembangkitkan pesona dengan alat-alat bahasa.
3. Mursal Esten, menyatakan sastra atau kesusastraan adalahpengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (dan masyarakat) melaluibahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan).
4. Ahmad Badrun, berpendapat bahwa Kesusastraan adalah kegiatan seni yang mempergunakan bahasa dan garis simbol-simbol lain sebagai alai, dan bersifat imajinatif.
5. Menurut Semi, sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaanseni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannyamenggunakan bahasa sebagai mediumnya
6. Panuti Sudjiman, mendefinisikan sastra sebagai karya lisan atautulisan yang memiliki berbagai ciri keunggulan sepertikeorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi, danungkapannya.
7. Menurut Sumardjo dan Sumaini, definisi sastra yaitu :
a. Sastra adalah seni bahasa.
b. Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yangmendalam.
c. Sastra adalah ekspresi pikiran dalam bahasa
d. Sastra adalah inspirasi kehidupan yang dimateraikan dalamsebuah bentuk keindahan.
e. Sastra adalah semua buku yang memuat perasaankemanusiaan yang benar dan kebenaran moral dengansentuhan kesucian, keluasan pandangan dan bentuk yangmempesona.
8. Suyitno, Sastra adalah sesuatu yang imajinatif, fiktif dan inventif  juga harus melayani misi-misi yang dapatdipertanggungjawabkan.
9.  Tarigan, sastra adalah merupakan obyek bagi pengarang dalammengungkapkan gejolak emosinya, misalnya perasaan sedih,kecewa, senang dan lain sebagainya.
10. Damono, mengungkapkan bahwa sastra menampilkangambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu

Manfaat Sastra


Horatius mengatakan bahwa manfaat sastra itu berguna dan menyenangkan. Secara lebih jelas dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.Karya sastra dapat membawa pembaca terhibur melalui berbagai kisahan yang disajikan pengarang mengenai kehidupan yang ditampilkan. Pembaca akan memperoleh pengalaman batin dari berbagai tafsiran terhadap kisah yang disajikan.
b.Karya sastra dapat memperkaya jiwa/emosi pembacanya melalui pengalaman hidup para tokoh dalam karya.
c.Karya sastra dapat memperkaya pengetahuan intelektual pembaca dari gagasan, pemikiran, cita-cita, serta kehidupan masyarakat  yang digambarkan dalam karya.
d.Karya sastra mengandung unsur pendidikan. Di dalam karya sastra terdapat nilai-nilai tradisi budaya bangsa dari generasi ke generasi. Karya sastra dapat digunakan untuk menjadi sarana penyampaian ajaran-ajaran yang bermanfaat bagi pembacanya.
e.Karya sastra dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan atau penelitian tentang keadaan sosial budaya masyarakat yang digambarkan dalam karya sastra tersebut dalam waktu tertentu.
f.Masih banyak manfaat sastra yang bagi satu pembaca berbeda dengan pembaca lainnya. Sehingga beberapa pembaca yang menikmati buku yang sama bisa jadi memperoleh pengalaman puitik yang berbeda.